Biografi Syech Yusuf Al Makassary

[ilustrasi syech yusuf almakssary/nu.co.id]


Seorang ilmuwan, sufi, penulis, dan komandan pertempuran abad ke-17, Beliau adalah Tuanta’ Salama’ ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.

Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), Caylon (Srilanka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. Bagi warga Cape Town, Dia tidak hanya diakui sebagai ulama, namun juga pejuang bagi rakyat Afrika Selatan. Daerah tempat tinggal Syekh Yusuf di Cape Town diberi nama sebagai kawasan Macassar untuk menghormati tempat asalnya. Syekh Yusuf al-Makassari telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan November 1995. Penghargaan yang diberikan kepadanya karena perjuangan beliau semasa hidupnya, baik sebagai seorang pejuang atau mujahid dakwah maupun sebagai ulama atau tokoh cendekiawan Islam. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara.

Menurut Lontara warisan kerajaan Kembar Gowa dan Tallo masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang digelari dengan Datuk ri Bandang, Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.

Syekh Yusuf meninggal pada tanggal 23 Mei 1699 pada usia 73 tahun. banyak versi yang diyakini sebagai makam beliau selain di Macassar Faure (Afsel), Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Srilanka dan talango-Madura. Tapi makam Syekh Yusuf yang sebenarnya ada di Lakiung ujar sejarawan Prof. Anhari Gonggong. (Ia dimakamkan di Lakiung pada hari Selasa, 12 Zulhidjah 1116 H.) Masih menjadi pertanyaan besar, di mana sesungguhnya jenazah Syekh Yusuf dimakamkan. Di masing-masing makam tersebut, masyarakat sekitar sangat meyakini jenazah Syekh Yusuf berada di makam setempat.

Seorang ulama besar tidak mungkin lahir dengan sendirinya, tanpa melalui tempaan-tempaan yang berat. Termasuk tempaan dalam mencari ilmu. Mengetahui guru-gurunya juga sebagai pemetaan jaringan ulama dan corak paham kegamaan yang dikembangkannya. Begitu juga dengan Syekh Yusuf :

Sejak agama Islam menjadi pengangan masyarakat di tanah Bugis, sistem pendidikan awal kepada anak-anak mereka adalah menyampaikan ayat-ayat al-Quran al-Karim melalui cara tradisional dalam pengajaran baca tulis al-Quran. Maka Syekh Yusuf al-Makassari pun tidak lepas dengan sistem itu. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam.

Beliau dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan dia berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.

Salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus pada waktu itu berada di Cikoang, yang saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka adalah keluarga-keluarga sayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW.  Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana yaitu Syeikh Jalaludin al-Aidit, selain itu beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang hingga khatam al-Qur’an.

Setelah fasih membaca al-Quran, beliau dibawa oleh orang tuanya ke pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahw, sarf, Balaghah, dan Mantiq. Pondok atau pusat pendidikan Bontoala yang didirikan pada tahun 1634, pada masa itu dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Yaman yang bernama Syed Ba’Alawy bin Abdullah, yang dikenal sebagai al-Allamah Tahir.

Setelah beliau menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Bontoala, gurunya Syed Ba’ Alawy menyarankan kepadanya agar terus melanjutkan pengajian di pondok Cikoang. Ada beberapa tahun lamanya Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin. Karena kecemerlangan dan kecerdesan otaknya dalam mengikuti  pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya di Jazirah Arabia. Walaupun hidup di lingkungan istana, namun semangat untuk menuntut ilmu tidak padam oleh tawaran-tawaran kehidupan enak ala istana. Di usia yang masih tergolong remaja (18 tahun), beliau berencana menuntut ilmu ke Makkah.

Sebelum niatan itu terwujud, ada satu adat saat itu yang “harus dipenuhi” oleh Syekh Yusuf sebagai bagian dari keluarga kerajaan, yaitu supaya membekali diri dengan berguru kepada “Para Paku Bumi” di 3 gunung (G. Latimojong wilayah kerajaan Luwu, G. Balusaraung wilayah kerajaan Bone, G. Bawakaraeng wilayah kerajaan Gowa) sebagai puncak 3 kerajaan yang memiliki ciri khas dan tradisi budaya tersendiri.

Tepat pada tanggal 22 September 1644 diusia 18 tahun Yusuf muda berangkat menumpang kapal melayu, dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten,Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, Disini dia bersahabat dengan Pangeran Surya anak dari Sultan Mufahir Mahmud Abdul Kadir, Sultan kerajaan Banten pada masa itu.

Kemudian dia berangkat ke Aceh dan berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Yang lahir di Ranir Gujarat India, setelah dari Aceh lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah untuk melaksanakan ibadah Haji sekaligus berguru dengan ulama disana.

Negeri Yaman adalah persinggahan beliau pertama dan berguru kepada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandy. Lalu ke kota Zubaid berguru kepada Syekh Maulana Sayed Ali al-Baalawiyah Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl  al-Sunnah  wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya.

Musim haji pun tiba maka beliau berangkat ke Mekkah. Setelah menunaikan ibadah Haji maka beliau berangkat ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana. Beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani. dan Hassan al-Ajamiy.

Dari situ Yusuf muda masih melakukan perjalanan studinya ke Negeri Syam (Damaskus) kepada Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Qurasyi seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, disini Syekh Yusuf mendapatkan predikat “Summa Cum Laude” bergelar Tajul Khalwati Hadiyatullah. tercatat juga bahwa beliau mempelajari tarekat Dasuqiyah, Syaziliyah, Hasytiah, Rifaiyah, al-Idrusiyah, Suhrawardiyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Madariyah, Makhduniyah.

Disini terkesan beliau memiliki pengetahuan yang tinggi.  Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung  kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan).

Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Pemikiran tasawuf yang ia kembangkan menegaskan peran tasawuf yang besar dalam pembentukan karakter keberagamaan Islam di nusantara. Beberapa ajarannya, yaitu Makna Tasawuf Hubungannya dengan Akidah, Konsep Tauhid dan Wahdatul Wujud,Konsep Ma’rifat dan Haqiqat, Makna Zikrullah, Wujud Tuhan dan Bayang-Bayang, Karamah, Mu’jizat dan Istidraj, dan Al-Insan al-Kamil, memberikan pengaruh besar dalam keberagamaan umat Islam di Nusantara.

Syekh Yusuf adalah ulama yang produktif menulis, kitab-kitab yang ditulisnya merupakan prasasti ilmu bagi generasi setelahnya. Setidaknya, terdapat 7 karya penting dari beliau, menurut Abu Hamid dalam bukunya Syekh Yusuf seorang Ulama, Sufi dan Pejuang menyebutkan 7 kitab tersebut adalah: (1) Kaifiyat al-munghi Wal Istbat (2) Safinat an-Najat (3) Hablu al-warid li Sa’adat al-Murid (4) al-Barakat as-Sailaniyah (5) an-Nafhati as-Sailaniyah (6) Mathalib as-Salikin (7) Risalat Ghayah al-Ikhtisar.

Berbeda dengan Abu Hamid, Nabilah Lubis dalam Syekh Yusuf al-Taj Khalwati al-Makassari menemukan sedikitnya 25 kitab karangannya yang di tulis era Banten dan Ceylon. Terlepas dari perdebatan berapa jumlah pasti karya Syekh Yusuf, yang pasti masih banyak yang tersisa dari Syekh Yusuf, baik berupa semangat perjuangannya menumpas kedzaliman, maupun belantara ilmu yang masih tercecer. Tinggal bagaimana kita saja, apakah kita bersedia mengais untuk memunguti keutamaan, kearifan, keteladanan, dan ilmu-ilmu dari beliau. Atau malah kita melupakan dengan menggusur bangunan makamnya karena dipenuhi oleh dampak yang dinilai kurang baik dan diganti dengan Mall atau hotel, seperti yang dilakukan oleh Saudi terhadap tempat bersejarah yang terdapat di Makkah. 

Syekh Yusuf adalah seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam di Nusantara. Keluasan ilmu yang beliau peroleh melalui kontak ilmu pengetahuan dengan pusat-pusat keilmuan Islam telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya yang brilian adalah sebuah  warisan emas bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

“Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau. Syekh Yusuf al-Makassar (3 juli 1628-23 mei 1699)”



Sumber :  BugisPos.com, www.republika.co.id, http://lagaligo.net/2009/01/mengenal-sosok-syekh-yusuf-part-i/, nu.or.id bimasislam.depag.go.id, http://boegis.heck.in, Cahaya dari Timur : Syekh Yusuf Al-Makassari Oleh : Mohammad Ali. Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, Cet. I; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama